Belajar Bahasa Inggris #1 : Bukan mie instan cap buaya.

Belajar Bahasa Inggris #1 : Bukan mie instan cap buaya.

“Pak, saya ingin bisa berbicara bahasa inggris seperti bapak, kira-kira gimana tips belajar nya pak”

“Pak, saya ingin les private dengan bapak, saya ingin bisa bahasa inggris seperti bapak”.
“Pak, saya ingin bisa lancar berbicara bahasa Inggris, bagaimana pak caranya?”
Sederetan pertanyaan itu di hadirkan oleh beberapa mahasiswa setelah hari pertama mengajar bahasa Inggris. Di awali dari tahun 2009 dan berturut-turut di 2010 juga. Awalnya saya suka memberikan semua tips-tips dan pola belajar Bahasa Inggris yang telah ditempuh. Namun setelah  belajar lebih jauh lagi, ternyata agak sedikit kurang berguna memberi tips-tips atau pola belajar saya kepada mereka. Kenapa? karena saat saya bilang “Oke, ini (sambil tunjuk ke papan tulis atau buku) adalah homework bagi kalian”. Mau tau apa jawaban mereka? “Aaaah pak, PR lagi, kami banyak ambil mata kuliah ini pak” atau dengan jawaban yang lainnya “Pak jangan kasih PR lah”

. Truu::us saya harus kasih tips bisa ‘instan’ berbicara bahasa Inggris tanpa berlatih sendiri (mengerjakan PR) di rumah. Truu::s saya harus bilang “pergi lah ke gunung seulawah, disana terdapat perguruan ‘Instant bisa mahiiii::r berbicara bahasa Inggris’?. Atau saya bilang gini aja “ambil lah buku bahasa Inggris 2 siung, cincang halus, kemudian di blender, tambahkan gula dan garam secukup nya serta jika anda mau, tambahkan lah susu kental manis, atau anda bisa gantikan dengan cokolat. Blender hingga halus, tambah kan air sedikit, dan minum 2 kali sehari. Tru::uuss, jika belom bisa juga berbicara bahasa Inggris, hubungi dokter”. Yassalam…

Sebenar nya fenomena diatas adalah apa yang terjadi dengan mahasiswa kita. Mahasiswa saya masih kurang bisa menghargai sebuah proses. Mereka ingin bisa berbicara bahasa inggris, namun tidak memberikan ‘usaha’ dari mereka tuk meraihnya. Banyak dari pendahulu kita sebelum si yahwa ‘Internet’ sampe ke gampong kita, mereka berjuang belajar bahasa Inggris. Mereka menyisihkan uang jajan mereka untuk membeli buku, kamus bahasa Inggris, kaset percakapan bahasa Inggris, dan juga dah pasti beli juga radio-tape nya (kalau gak, kan gak bisa kita putar juga kaset nya, han ek ta khem; gak sanggup kita ketawa). Setelah material seperti itu terbeli satu persatu, mereka belajar pelan-pelan tanpa harus mengeluh. Apapun yang diajarkan oleh guru-guru mereka, pasti dengan semangat mereka mempelajari nya. 

Sepulang sekolah mereka mendengarkan kaset tape itu lagi. Jika belom mampu beli punya sendiri, maka mereka pergi ke rumah kawan yang sudah memiliki nya dan belajar bersama. Hal tersebut belumlah seberapa, ada yang sampe tengah malam hanya menunggu filom (film) barat yang di putarkan di TVRI (itu pun kalau ada TV dan jika ada yang putar film barat). Di tengah malam itu, sangking ingin mendengarkan lebih jelas apa yang di’bilang’ oleh sang aktor-aktor, maka volume TV pun sampai 100%. Yang maknanya, satu rumah bisa dengar filom itu pada malam hari di saat orang-orang di rumah sedang ‘cekgroo’  (mengorok). Ya… salah satu penghuni rumah itu adalah saya yang masih sekolah TK. Pokoknya, orang jaman dulu belajar bahasa Inggris telah melewati segala rintangan, kesulitan, dan hambatan-hambatan yang selalu saja hadir di kala mereka belajar. 
Bandingkan lah dengan keadaan jaman sekarang!? Apa yang gak ada? Internet? laptop? laptop jaman sekarang macam orang beli kacang aja. Buku? buku sekarang gampang, bisa dunlut (download) gratis di Internet? kaset percakapan bahasa Inggris? berserak sekarang di pasar, bahkan di U-TUBE juga bertumpok wak. Apa lagi mau ngeluh? yang ada saat ini pertanyaan nya adalah ‘mau bisa bahasa Inggris? tapi gak mau belajar??’. 
Bersambung ke bagian 2; kita akan bahas teori audiolingual yang saya akan hubungkan dengan apa yang terjadi dengan Nabi Muhammad di Gua Hira pada saat pertama berjumpa Jibril. Dari situ, kita akan beranjak ke pola belajar ‘audilingual’ secara maisntream pada masa perang dunia.